MODEL INOVASI PELAYANAN INSTITUSI PENDIDIKAN
MODEL
INOVASI PELAYANAN INSTITUSI PENDIDIKAN
ABSTRAK
Inovasi adalah
sebuah proses menuju perbaikan atau perubahan. Dalam menyikapi perkembangan
global, institusi pendidikan harus berbenah dengan melakukan berbagai inovasi
dalam pelayanan pendidikan. Berbagai model inovasi pendidikan yang dapat
diterapkan dalam meningkatkan layanan pada institusi pendidikan di antaranya model
penelitian, pengembangan dan difusi, model pengembangan organisasi, dan model
konfigurasi. model penelitian, pengembangan dan difusi berdasarkan pemikiran
bahwa setiap orang tentu memerlukan perubahan, dan unsur pokok perubahan ialah
penelitian, pengembangan, difusi.
Model
Pengembangan Organisasi lebih berorientasi pada organisasi dari pada organisasi
pada sistem sosial. Model ini berpusat pada sekolah. Model pengembangan
organisasi ini berbeda dengan model pengembangan dan difusi. Model pengembangan
organisasi juga berorientasi pada nilai yang tinggi artinya dalam model ini
juga mendasarkan pada filosofi yang menyarankan agar sekolah jangan hanya
diberi tahu tentang inovasi pendidikan dan disuruh menerimanya, tetapi sekolah
hendaknya mampu mempersiapkan diri untuk memecahkan sendiri masalah pendikan
yang dihadapinya. Sedangkan Model Konfigurasi yang disebut juga konfigurasi
teori difusi inovasi yang juga terkenal dengan istilah CLER, model dengan
pendekatan secara konprehensif untuk mengembangkan strategi inovasi ( perubahan
pendidikan) pada situasi yang berbeda.
Ketiga model
inovasi tersebut dijadikan landasan dalam penyusunan perencanaan dan
pelaksanaan inovasi pada institusi pendidikan. Inovasi layanan pendidikan ini berorientasi
pada peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu perwujudan adanya pelayanan
prima (excellent service) institusi
pada masyarakat selaku konsumen pendidikan.
Kata kunci : Inovasi Pendidikan, Model
Inovasi Pendidikan, Institusi Pendidikan.
A. Pendahuluan
Dengan adanya
kecenderungan globalisasi dan keinginan untuk menyesuaikan tuntutan kebutuhan
serta aspirasi bangsa Indonesia di masa depan akan membawa implikasi terhadap
perubahan-perubahan kebijakan, khususnya dalam bidang pendidikan. Misi
pendidikan nasional adalah menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif
yang adaptable terhadap perubahan dan kebutuhan stakeholders. Disamping itu, institusi
pendidikan dapat menjawab fenomena empat pilar pendidikan (learning to know, learning to do learning to be, and learning to live
together) . Untuk itulah institusi pendidikan berupaya mewujudkannya
melalui inovasi-inovasi pendidikan.
Suatu inovasi
tidak begitu saja dapat diterima. Perubahanperubahan yang dibawa inovasi
memerlukan persiapan dan waktu yang panjang, Kecepatan pelaksanaannya
tergantung pada kondisi sekolah dan kesiapan para pelaksana. Cepat atau
lambatnya suatu inovasi diterima oleh masyarakat atau sekolah tergantung pada
karakteristik inovasi tersebut Menurut Everett M. Rogers (1983), ada lima karakteristik
suatu inovasi agar dapat diterima, yaitu:
Keuntungan
relatif, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan bagi penerimanya.
Tingkat keuntungan atau kemanfaatan suatu inovasi dapat diukur dari nilai
ekonomi, kepuasan, dan status sosial, atau karena mempunyai komponen yang
sangat penting. Makin menguntungkan bagi penerima makin cepat tersebarnya
inovasi.
Kompatibel,
yaitu tingkat kesesuaian inovasi dengan nilai, pengalaman masa lampau, dan
kebutuhan penerima. Kompleksitas, yaitu tingkat kesukaran untuk memahami dan
menggunakan inovasi bagi penerima. Suatu inovasi yang mudal dimengerti dan
mudah digunakan akan cepat tersebar, sedangkan inovasi yang sukar dimengerti
atau sukar dipergunakan akan lambat proses penyebarannya. Triabilitas, yaitu dapat
dicoba atau tidaknya suatu inovasi oleh penerima.
Observabilitas,
yaitu mudah tidaknya diamati suatu inovasi. Fullan (1996) menerangkan bahwa
tahun 1960-an adalah era di mana banyak inovasi-inovasi pendidikan kontemporer
diadopsi, seperti matematika, kimia dan fisika baru, mesin belajar ( teaching
machine), pendidikan terbuka, pembelajaran individu, pengajaran secara team
(team teaching) dan termasuk dalam hal ini adalah sistem belajar mandiri.
Berbicara
mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan
discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya
hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu benda yang sebenarnya
telah ada sebelumnya. Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan
benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan
discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah
penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati
sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang
(masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi
dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah (Subandiyah
1992:80). Faktor-faktor yang dijadikan Pertimbangan pihak adopter dalam membuat
keputusan untuk menerima atau menolak produk suatu inovasi jika dikaitkan
dengan pemikiran Everett M. Rogers (1983) dalam diffusion of innovasion
dipengaruhi oleh 5 (lima) karakteristik inovasi.
Perbaikan
pendidikan melalui berbagai upaya inovasi yang selama ini dikembangkan dalam
skala nasional konon masih belum mencapai hasil sebagaimana diinginkan. Ada
sejumlah studi yang menunjukkan kondisi demikian (Beeby, 1979; Azis Wahab, 1987
; Djam’an Satori, 1989; Muhtaram, 1996). Secara umum dapat dikemukakan bahwa
pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan satuan pendidikan
sekolah cenderung masih banyak berbuat dengan cara-cara yang konvensional.
Kalaupun ada upaya inovasi seringkali waktu yang digunakan justru lebih banyak
untuk memikirkan permasalahan administratifnya daripada hal-hal yang bersifat
substantifnya. Menurut Moegiadi (1988) akibatnya program yang dihasilkan tidak
memenuhi persyaratan minimal dalam mencapai mutu yang baik.
Oleh karena itu
bagi tenaga kependidikan yang bergerak paling depan (kelompok pengawas, kepala
sekolah, dan guru) patut untuk mempertanyakan kembali apa yang mesti
masing-masing lakukan untuk efektivitas upaya inovasi di sekolah. Apalagi kini
telah tiba saatnya harus siap untuk menyelenggarakan sendiri upaya-upaya
inovasi dalam lingkup dan wewenang kerjanya, sebagaimana diisyaratkan PP Nomor
28/1990 (pasal 30) dan PP Nomor 29/1990 (pasal 32). Di samping sejalan pula
dengan konstelasi pembangunan pendidikan yang lebih mengarah pada
“otonomisasi-fungsional” sekolah. Sekarang ini konsep “school-based management”, yang telah dikembangkan dalam perbaikan
mutu pendidikan di Amerika Serikat (Orlosky dkk., 1984), tengah berjalan pula
untuk diadopsi di Indonesia.
Inovasi termasuk
bagian dari perubahan sosial dan inovasi pendidikan merupakan bagian dari
inovasi. Karena penyelenggara pendidikan formal adalah suatu organisasi maka
yang lebih sesuai diterapkan dalam bidang pendidikan adalah pola inovasi dalam
organisasi, walau demikian organisasi pendidikan memiliki karakteristik atau
keunikan tersendiri dibanding organisasi lain. Maka untuk memperjelas wawasan
tentang model inovasi pendidikan yang baru yang sesuai kondisi dan situasi
setempat, ada beberapa faktor yang harus dipahami yang mempengaruhi proses
inovasi pendidikan sesuai dengan karakteristik bidang pendidikan. Kemudian
diperlukan pula perencanaan inovasi pendidikan agar proses inovasi berlangsung
efektif dengan panduan petunjuk untuk mengadakan inovasi pendidikan di sekolah.
Pembahasan ini, diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pedoman jika seorang guru
atau kepala sekolah akan mengadakan inovasi atau suatu perubahan pendidikan
disekolah tempat ia bekerja. Pengertian inovasi pendidikan mencakup baik
inovasi yang disebarluaskan atau didesiminasikan oleh pemerintah pusat
(bersifat nasional), maupun inovasi dalam pengertian ide atau gagasan baru
untuk memecahkan masalah atau memperbaiki sekolah tempat guru atau kepala
sekolah itu bekerja. Melalui wawasan luas dan lengkap tentang inovasi
pendidikan, diharapkan guru dapat membantu kelancaran proses inovasi pendidikan
yang ada dilingkungan kerja. Bahkan jika memungkinkan dapat merencanakan dan
menerapkan inovasi pendidikan sendiri untuk meningkatkan kualitas sekolahnya
atau memecahkan masalah pendidikan yang dihadapinya.
B. Pembahasan
Inovasi adalah : ide-ide baru,
kegiatan-kegiatan baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu
yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyebaran inovasi. Lionberger
dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru,
tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat
mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu.
Pengertian “baru” di sini, mengandung makna bukan sekadar “baru diketahui” oleh
pikiran (cognitive) , akan tetapi
juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat
dalam arti sikap (attitude) dan juga baru dalam pengertian belum diterima
dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat.
Pengertian inovasi tidak hanya terbatas
pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi,
kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau gerakan-gerakan menuju
kepada proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi “Sesuatu
ide, produk, informasi teknologi, kelembagaan, perilaku, nilai-nilai, dan
praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan
digunakan/diterapkan /dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam
suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya
perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu
terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga
masyarakat yang bersangkutan”.
Pengertian “baru” yang melekat pada
istilah inovasi tersebut bukan selalu berarti baru diciptakan, tetapi dapat
berupa sesuatu yang sudah “lama” dikenal, diterima, atau digunakan/diterapkan
oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang
masih “baru”. Pengertian “baru” juga tidak selalu harus datang dari luar,
tetapi dapat berupa teknologi setempat (indegenuous
technology) atau kebiasaan setempat (kearifan tradisional) yang sudah lama
ditinggalkan.
Pemahaman tentang arti, alasan, dan
kegunaan suatu upaya perubahan amatlah penting bagi para penyelenggara sistem
dan pengelola satuan pendidikan. Kekurangan atau kesalahpahaman mengenai ketiga
hal tersebut sangat boleh jadi merupakan sumber tidak efektifnya upaya-upaya
perubahan yang dilakukan selama ini (Oteng Sutisna, 1977). Karena itu persepsi
di antara para pengawas dan kepala sekolah dan komite sekolah perlu disamakan
sehingga upaya inovasi di tingkat sekolah dapat tumbuh dengan subur.
Perubahan (changing) adalah sebagai adanya perbedaan sesuatu dari konsidi
sebelumnya yang ditunjukkan oleh hadirnya upaya baru atau inovasi menuju
pertumbuhan ke arah yang lebih "baik". Dalam persepektif ini inovasi
melekat pada perubahan, sebab ketiadaannya memungkinkan kondisi yang berbeda lebih
bermuatan negatif.
Alasan perubahan sistem manajemen harus
dilakukan di sekolah sebab upaya konvensional yang sudah tak mampu mengatasi
permasalahan sekolah harus segera diganti dengan upaya lain yang baru.
Paradigma desentralisasi pendidikan menghendaki perubahan sistem manajemen di
sekolah. Membiarkannya tetap seperti sebelumnya berarti menyiapkan sekolah
menjadi ketinggalan. Bila terus terjadi maka sekolah akan berada dalam keadaan
entropi, yaitu kekacaubalauan yang menuju disorganisasi atau kehancuran sistem
sekolah.
Oleh karena itu perubahan sistem
manajemen di sekolah dimaksudkan agar sekolah dapat bergerak lebih maju dan
mampu beradaptasi dengan perkembangan lingkungan. Hanya sekolah yang adaptif
yang akan mampu mempertahankan hakikat keberadaannya atau apa yang oleh Owens
(1987) disebut “homeostatis”.
Inovasi di institusi
pendidikan adalah langkah tepat yang harus diambil oleh pimpinan di lembaga
tersebut, hal ini mengingat percepatan kemajuan zaman semakin melaju dengan
akselerasi yang luar biasa, sementara itu dunia pendidikan juga dituntut untuk
mengimbangi percepatan kemajuan tersebut. Seorang pmipinan di institusi
pendidikan memang merupakan “lokomotif” dari
sebuah institusi pendidikan/sekolah, maju tidaknya sekolahan tergantung dari
upaya keras kepala sekolah dalam memanage sekolahan tersebut. Dalam kehidupan
modern sekarang ini, pendidikan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan
yang sangat cepat dan kadang-kadang kehadirannya sulit diprediksikan, sehingga
menuntut setiap organisasi untuk dapat memiliki kemampuan antisipatif dan
adaptif terhadap berbagai kemungkinan sebagai konsekwensi dari adanya
perubahan. Begitu pula dengan sekolah, sebagai institusi yang bergerak dalam
bidang jasa pendidikan akan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan.
Ketidakmampuan sekolah dalam mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan
yang terjadi, lambat laun akan dapat menimbulkan keterpurukan sekolah itu
sendiri, dan habis ditelan oleh perubahan.Bentuk sikap antisipatif dan adaptif
ini dapat dilakukan melalui upaya untuk melaksanakan inovasi secara
terus-menerus dalam proses manajemen.
Institusi pendidikan
formal adalah suatu subsistem dari sistem sosial, jika terjadi perubahan dalam
sistem sosial maka institusi pendidikan formal juga mengalami perubahan,
demikian sebaliknya. Olehnya itu, institusi pendidikan mempunyai beban ganda
yaitu melestarikan nilai-nilai budaya dan mempersiapkan generasi muda agar
dapat menghadapi tantangan kemajuan jaman.
Motivasi yang
mendorong perlunya diadakan inovasi pendidikan bersumber pada dua hal yaitu :
kemauan sekolah (institusi pendidikan) untuk mengadakan respon terhadap
tantangan kebutuhan masyarakat dan adanya usaha untuk menggunakan sekolah (institusi
pendidikan) untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Antara institusi
pendidikan dan sistem sosial terjadi hubungan yang erat dan saling
mempengaruhi.
Ada tiga hal
yang berpengaruh besar terhadap kegiatan di sekolah (institusi pendidikan) :
1.
Faktor kegiatan belajar mengajar.
Yang
menjadi kunci keberhasilan dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar ialah
kemampuan guru sebagai tenaga profesional. Guru sebagai tenaga yang telah
dipandang memiliki keahlian tertentu dalam bidang pendidikan, diserahi tugas
dan wewenang untuk mengelola kegiatan belajar mengajar agar dapat mencapai
tujuan tertentu, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional dan tujuan institusional yang telah dirumuskan.
Dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kegiatan belajar mengajar, terdapat
berbagai faktor yang menyebabkan orang memandang bahwa pengelolaan kegiatan
belajar mengajar adalah kegiatan yang kurang (setengah) profesional, kurang
efektif, dan kurang perhatian.
Beberapa
alasan mengapa orang memandang tugas guru dalam mengajar mengandung banyak
kelemahan :
a.
Hubungan interpersonal
guru dan siswa.
Dengan
kemampuan yang sama belum tentu menghasilkan prestasi belajar yang sama jika
menghadapi kelas yang berbeda, demikian pula sebaliknya, dengan kondisi kelas
yang sama diajar oleh guru yang berbeda belum tentu menghasilkan prestasi
belajar yang sama, meskipun para guru tersebut telah memenuhi persyaratan
sebagai guru yang profesional.
b.
Kegiatan belajar
mengajar terisolasi dari kritik teman sejawat.
Kegiatan
guru di kelas merupakan kegiatan yang terisolasi dari kegiatan kelompok, guru
yang lain tidak mengetahui, maka sukar untuk mendapatkan kritik untuk
pengembangan profesinya. Apa yang dilakukan guru di kelas seolah-olah sudah
merupakan hak mutlak tanggung jawabnya. Padahal mungkin masih banyak
kekurangannya.
c.
Ketiadaan kriteria yang
baku tentang keefektifan belajar mengajar.
Kriteria
pengelolaan kegiatan belajar mengajar sukar ditentukan karena sangat banyak
variabel yang ikut menentukan keberhasilan kegiatan belajar siswa.
d.
Waktu yang terbatas.
Dengan
keterbatasan waktu guru tidak mungkin dapat melayani siswa dengan memperhatikan
perbedaan individual satu dengan yang lain.
e.
Tujuan pembelajaran
yang sama untuk siswa yang berbeda.
Berdasarkan
perbedaan individual siswa, akan lebih tepat jika pengelolaan kegiatan belajar
mengajar dilakukan dengan cara yang sangat fleksibel. Kenyataannya guru
dituntut untuk mencapai perubahan tingkah laku yang sama bagi semua anak dan
jika ini tidak tercapai dapat menimbulkan anggapan diragukan kualitas
profesionalnya.
f.
Minimnya waktu untuk
meningkatkan kompetensi.
Dalam
usaha untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya, guru diperhadapkan pada
ketiadaan keseimbangan antara kemampuan dan wewenang mengatur beban kerja,
tanpa bantuan dari lembaga dan tanpa insentif yang memadai. Hal ini menyebabkan
program pertumbuhan jabatan atau peningkatan profesi guru mengalami hambatan.
g.
Banyaknya tuntutan.
Tuntutan
kerja yang banyak membuat guru kesulitan dalam menentukan skala prioritasnya,
misalnya yang mana didahulukan perubahan tingkah laku atau kognitif siswa. Dan
masih banyak lagi tuntutan yang lain.
Jika
profesional yang penuh, maka akan memberi peluang pada anggotanya untuk :
a.
Menguasai kemampuan
profesional yang ditunjukkan dalam penampilan.
b.
Memasuki anggota
profesi dan penilaian terhadap penampilan profesinya, diawasi oleh kelompok
profesi (teman sejawat).
c.
Ketentuan untuk berbuat
profesional, ditentukan bersama antar sesama anggota profesi.
2.
Faktor internal dan
eksternal
Keunikan dari sistem pendidikan adalah
baik pelaksana maupun klien adalah kelompok manusia. Perencana inovasi
pendidikan harus memperhatikan mana kelompok yang mempengaruhi dan mana
kelompok yang dipengaruhi. Faktor internal yang dimaksud adalah siswa, siswa
menjadi pusat perhatian dan bahan pertimbangan dalam melaksanakan berbagai
kebijakan pendidikan. Faktor eksternal yang berpengaruh dalam proses inovasi
pendidikan ialah orang tua, baik secara moral maupun finansial. Di Amerika yang
berperan sebagai faktor ekstenal adalah juga para pembayar pajak pendidikan
yang diatur tersendiri berdasarkan pada kemampuan atau kekayaan masing-masing. Ahli
pendidik (profesi pendidikan) merupakan faktor internal dan juga faktor
eksternal seperti guru, administrator pendidikan, konselor. Para ahli luar
organisasi sekolah seperti pengawas, inspektur, penilik sekolah, konsultan dan
pengusaha yang membantu pengadaan fasilitas sekolah. Para penatar guru dan
organisasi persatuan guru juga dapat dipandang sebagai faktor eksternal.
3. Sistem pendidikan (pengelolaan dan
pengawasan)
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah
diatur dengan aturan yang dibuat pemerintah, mulai dari cara berpakaian,
kegiatan waktu istirahat, sampai pada kegiatan belajar di kelas. Dengan aturan
tersebut timbul permasalahan sejauh mana batas kewenangan guru untuk mengambil
kebijakan dalam melakukan tugasnya yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi
setempat. Demikian pula sejauh mana kesempatan yang diberikan kepada guru untuk
meningkatkan kemampuan profesionalnya guna menghadapi tantangan kemajuan jaman.
J. Alan Thomas
membedakan tiga macam perspektif tentang fungsi sekolah yang kemudian
dilengkapi menjadi 4 perspektif oleh Zaltman seperti berikut :
PERSPEKTIF
FUNGSI SEKOLAH
|
||
PERSPEKTIF
|
INPUT
|
OUTPUT
|
Administrasi
|
Sumber
daya manusia dan
material
(orang, peralatan, dan sebagainya)
|
Program
pendidikan pada suatu sekolah ( unit pelayanan tertentu)
|
Psikologi
|
Unit
pelayanan sekolah, waktu belajar, kualitas program belajar, latar belakang
sosial ekonomi siswa dan sebagainya.
|
Perubahan
tingkah laku dan nilai yang dicapai siswa (hasil belajar siswa)
|
Ekonomi
|
Peningkatan
kesempatan belajar
|
Penambahan
penghasilan
baik
secara
individu maupun masyarakat
luas
|
Pembuatan kebijakan
|
Bentuk
elemen sistem pendidikan di masyarakat
|
Kemampuan
individual untuk berpartisipasi secara produktif dalam masyarakat
|
Dengan memahami
berbagai macam perspektif tentang fungsi sekolah akan mempermudah untuk
mengadakan inovasi dengan menentukan pada perspektif mana yang diutamakan
terlebih dahulu. Dengan demikian pelaksanaan perubahan pendidikan atau inovasi
pendidikan dapat dilakukan secara bertahap.
Penyusunan
perencanaan disesuaikan dengan keperluan. Perencanaan untuk inovasi yang akan
menjangkau wilayah nasional akan berbeda dengan perencanaan untuk inovasi yang
akan diimplementasikan pada suatu institusi pendidikan tertentu atau suatu
sekolah. Faktor dominan pada suatu institusi pendidikan adalah faktor
manusianya. Faktor yang dominan pada suatu sekolah ialah guru dan siswa.
Interaksi guru dan siswa merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap
proses inovasi pendidikan. Sekolah berada di suatu lingkungan sistem sosial
atau merupakan bagian dari sistem sosial. Oleh karena itu perubahan yang
terjadi pada suatu sekolah akan mempengaruhi dan mungkin juga dipengaruhi oleh
lingkungannya.
Ada tiga macam
hubungan antara suatu sistem dengan lingkungannya yang dapat menyebabkan
terjadinya perubahan pada sistem yaitu : reaktif,
proaktif, interaktif. Sebenarnya ada juga hubungan antara sistem dengan
lingkungannya yang disebut hubungan inaktif
atau beku, artinya dalam hubungan itu tidak terdapat arus tenaga penggerak
antara sistem dengan lingkungannya, sehingga sistem itu tidak dapat tumbuh dan
berkembang. Dalam hubungan inaktif tidak mendorong adanya perubahan karena
hubungan tenaga sumber yang terdapat dilingkungan dengan sistem yang ada. Jadi
hubungan antara sistem dengan lingkungannya yang menyebabkan terjadinya suatu
perubahan ada tiga yaitu :
1.
Hubungan reaktif artinya sistem secara kontinu
(berkesinambungan) mengadakan respon terhadap kekuatan atau tekanan dari luar
misalnya masalah poitik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya.
2.
Hubungan proaktif artinya sistem memegang peranan
sebagai pengambil inisiatif untuk mengadakan perubahan atau inovasi, dan secara
aktif untuk berusaha mencari sumber dari lingkungannya ( Eksternal )
3.
Hubungan interaktif artinya pertumbuhan dan
pengembangan atau perubahan suatu sistem sebagai hasil adanya hubungan
interaksi antara sistem dan lingkungannya. Baik sistem dan lingkungannya saling
memegang peranan dalam proses terjadinya perubahan atau inovasi.
Dari ketiga
macam hubungan antara sistem dengan lingkunganya tersebut, yang sesuai dengan
perubahan pendidikan yang direncanakan atau inovasi ialah hubungan proaktif dan
interaktif. Jika terjadi hubungan reaktif antara sekolah atau institusi
pendidikan dengan lingkungannya berarti pimpinan lembaga atau kepala sekolah
selalu memberikan reaksi terhadap tantangan lingkungannya. Karena datangnya
tantangan dapat secara tiba-tiba dan mendesak maka pimpinan lembaga dalam
memberikan keputusan juga secara mendadak tanpa ada perencanaan yang mantap.
Sehingga perubahan yang terjadi tidak dapat berlangsung secara efektif terarah
pada suatu tujuan tertentu.
Hubungan
proaktif dan interaktif antara sekolah dan lingkungannya, artinya dalam usaha
mengadakan perubahan atau inovasi dapat terjadi saling mengontrol antara sekolah
dengan lingkungan (masyarakat). Pimpinan sekolah dan guru dapat bekeja sama
dengan orang tua murid untuk mengadakan perubahan atau inovasi guna mengefekti
an proses belajar siswa.
Agar kerjasama
dan usaha pendayagunaan sumber yang ada di lingkungan dapat tepat terarah pada
sasaran inovasi pendidikan, maka perlu perencanaan yang cermat dan mantap.
Elemen-elemen pokok dalam proses perencanaan ialah :
1.
Merumuskan tujuan umum
dan tujuan khusus inovasi pendidikan yang akan dilaksanakan, dengan rumusan
yang jelas.
2.
Mengidentifikasi
masalah.
3.
Menentukan kebutuhan.
4.
Mengidentifikasi sumber
(penunjangdan penghambat).
5.
Menentukan alternatif
kegiatan berdasarkan faktor penunjang serta mempertimbangkan hambatan.
6.
Menentukan alternatif
pecahan masalah.
7.
Menentukan alternatif
cara pendayagunaan sumber yang ada.
8.
Menentukan kriteria
untuk memilih alternatif pemecahan masalah.
9.
Menentukan alternatif
pengambilan keputusan.
10.
Menentukan kriteria
untuk menilai hasil inovasi.
Beberapa
model inovasi pendidikan berikut ini, adalah model-model inovasi pendidikan
yang telah digunakan oleh Amerika Serikat. Sebagaimana kita ketahui bahwa
peristiwa yang sangat kuat bagi bangsa Amerika untuk mendorong diadakannya
inovasi pendidikan ialah peristiwa berhasilnya bangsa Rusia meluncurkan Sputnik
ke luar angkasa. Dengan adanya peristiwa itu maka para pendidik di Amerika
benar-benar prihatin bagaimana caranya mengubah sistem pendidikannya, untuk
menghilangkan rasa rendah diri dan panik terhadap keberhasilan bangsa Rusia. Maka
mulai bangkitlah semangat para pendidik di Amerika untuk mengadakan perubahan
di bidang pendidikan dan mulailah diadakan pembaharuan kurikulum, penggunaan
media, pengorganisasian kegiatan belajar, dan prosedur administrasi sekolah.
Para
ahli pendidikan sadar bahwa hasil pendidikan yang selama telah diperolehnya
belum cukup baik, masih harus disempurnakan. Berbagai pertanyaan mengusik dan
menggelisahkan sehingga mereka selalu berusaha untuk menjawabnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain : bagaimana caranya menterjemahkan
harapan kita untuk masa depan kedalam pelaksanaan pendidikan pada saat
sekarang?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut ada dua hal yang sangat membantu yaitu hasil
perkembangan ilmu sosial dan juga ilmu tingkah laku. Kedua ilmu ini ternyata
bukan hanya menunjang untuk memahami tentang tingkah laku manusia dan fenomena
sosial, tetapi sangat bermanfaat untuk mengadakan rekayasa dan menciptakan
sesuatu di masa yang akan datang. Maka bermunculan para ahli ilmu sosial yang
tertarik untuk mengadakan penelitian tentang sistem sosial dan juga teknologi
tentang bagaimana menginterfensi agar terjadi perubahan sosial diantara para
ahli yang tertarik pada perubahan sosial tersebut termasuk ahli pendidikan.
Sebagai
hasil usaha para ahli pendidikan di Amerika Serikat ada tiga model perubahan
pendidikan atau model inovasi pendidikan yaitu :
1.
Model Penelitian, Pengembangan dan Difusi
Model
inovasi ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap orang tentu memerlukan perubahan,
dan unsur pokok perubahan ialah penelitian, pengembangan, difusi.
2.
Model Pengembangan Organisasi
Model
ini lebih berorientasi pada organisasi dari pada organisasi pada sistem sosial.
Model ini berpusat pada sekolah. Model pengembangan organisasi ini berbeda
dengan model pengembangan dan difusi.
Model
pengembangan organisasi juga berorientasi pada nilai yang tinggi artinya dalam
model ini juga mendasarkan pada filosofi yang menyarankan agar sekolah jangan
hanya diberi tahu tentang inovasi pendidikan dan disuruh menerimanya, tetapi
sekolah hendaknya mampu mempersiapkan diri untuk memecahkan sendiri masalah
pendikan yang dihadapinya.
3.
Model Konfigurasi
Model
konfigurasi atau disebut juga konfigurasi teori difusi inovasi yang juga
terkenal dengan istilah CLER, model dengan pendekatan secara konprehensif untuk
mengembangkan strategi inovasi ( perubahan pendidikan) pada situasi yang
berbeda. Menurut model konfigurasi kemungkinan terjadinya difusi inovasi
tergantung pada 4 faktor yaitu :
a.
Konfigurasi artinya
menunjukan bentuk hubungan inovator dengan penerima dalam konteks sosial atau
hubungan dalam situasi sosial dan politik. Ada 4 konfigurasi yaitu individu,
kelompok, lembaga dan kebudayaan. Setiap bagian dari ke empat konfigurasi
tersebut, dapat berperan sebagai inovator dan juga dapat berperan sebagai
penerima inovasi (adopter).
b.
Hubungan (linkage)
yaitu hubungan antara para pelaku dalam proses, penyebaran inovasi. Inovator
dan adopter harus berada dalam hubungan yang memungkinkan didengarkannya dan
diperhatikannya inovasi yang didifusikan.
c.
Lingkungan : bagaimana
keadaan lingkungan sekitar tempat penyebaran inovasi. Lingkungan dalam
pengertian ini semua hal baik fisik, sosial, dan intelektual yang secara umum
dapat bersifat netral, mempengaruhi atau mungkin menghambat terhadap tingkah
laku tertentu.
d.
Sumber (resources) :
sumber apakah yang tersedia baik bagi inovator maupun penerima dalam proses
transisi penerimaan inovasi. Sumber yang tersedia sangat penting baik bagi
inovator maupun adopter, karena keduanya memerlukan sumber inovasi untuk
melaksanakan transaksi .
Perubahan di
sekolah dapat terjadi meliputi kesemua komponen inovasi (ide, praktek, barang)
yang tersebar pada dimensi-dimensinya (personil, struktur, tugas, teknologi).
Perubahan bisa dirancang tersendiri per komponen per dimensi ataupun kombinasi
dari berbagai komponen dan berbagai dimensi. Rancangan perubahan yang
mengkombinasikan komponen-komponen dan dimensi-dimensi inovasi dapat dikenal
sebagai model rancangan inovasi integratif ( MRII ).
Tiap sekolah
dapat mengembangkan MRII yang cocok dan sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
Kabutuhan-kebutuhan perubahan di sekolah dalam jangka panjang sangat tepat jika
direspon melalui MRII. Karena itu syarat utama untuk dapat menerapkan MRII pada
sekolahsekolah adalah kesang-gupan pimpinan sekolah untuk hadir selaku master
perubahan. Adapun langkah umum MRII adalah:
1. Mengidentifikasi
masalah-masalah krusial.
2. Menetapkan
prioritas penyelesaian.
3. Merumuskan
peta materi ubah yang menghubungan kerangka komponen dengan dimensi pembaruan.
4. Menjabarkan
rincian unsur-unsur operasinal perencanaan untuk tiap materi ubah.
Sebagai alat
bantu untuk dikembangkan sendiri antara lain dapat dike-tengahkan kerangka peta
materi ubah dan kerangka rincian unsur operasional perencanaan. Kerangka
rincian unsur operasional perencanaan dapat dibuat sebagai berikut:
MATERI
INOVASI
|
SASARAN
|
AGEN
|
WAKTU
|
TEMPAT
|
AKTIVITAS
|
1. .……….
|
1. .……….
|
1.
……….
|
|
|
a. Pembuyaran:
-
…………….
|
|
2.
………..
3.
………..
|
1.
………..
2.
………..
|
|
|
b. Pengubahan:
1.
pemahaman: - ……………
2.
Persuasi:
-
…………….
3.
pemutusan:
-
……………
4.
implementasi - …………….
5.
konfirmasi:
-
…………….
|
2. ……….
|
sda
|
sda
|
sda
|
sda
|
|
Inovator
memerlukan kejelasan konsep agar dia dapat menyusun disain pengembangan dan
menentukan strategi inovasi. Demikian pula dengan adopter memerlukan kejelasan
konsep agar memahami inovasi sehingga dapat menerapkan inovasi sesuai yang
diharapkan.
Mengembangkan
strategi difusi inovasi berarti berusaha untuk mengatur keempat faktor yang
mempengaruhi difusi inovasi tersebut agar dapat berfungsi secara optimal.
Keempat faktor itu dikenal dengan singkatan CLER (Configuration , Lingkages,
Environment, Resources.)
Pengertian
inovasi pendidikan bukan berarti selalu perubahan atau pembaharuan yang
bertaraf nasional dan diusahakan oleh panitia dipusat pemerintahan. Inovasi
pendidikan dapat diusahakan oleh guru, kepala sekolah, dan mungkin juga ide
pertama dari siswa. Namun perlu diketahui bahwa suatu lembaga tidak mudah
berubah.
Beberapa uraian
tentang apa dan bagaimana menerapkan ide untuk memperbaiki atau memecahkan
masalah sekolah, yang merupakan sesuatu yang diamati sebagai sesuatu yang baru
(inovasi) adalah sebagai berikut.
1.
Buatlah rumusan yang
jelas tentang inovasi yang akan diterapkan. Untuk mempermudah perumusan tentang
kebutuhan dan inovasi yang akan diterapkan disarankan menggunakan pertanyaan
antara lain; apakah anda akan mengatur sistim kepenasehatan siswa ? mengubah
cara kerja konselor ? mengembangkan pembagian tugas dewan guru dalam menunjang
kelanjaran program sekolah ? dan pertanyaan lain yang mengarah pada tujuan
inovasi yang akan dilakukan.
2.
Gunakan metode atau
cara yang memberi kesempatan untuk berpartipasi secara aktif dalam usaha
merubah pribadi maupun sekolah. Merubah sekolah sebenarnya merubah orang yang
berada di sekolah yaitu guru dan siswa. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
mengadakan pembaharuan atau menerapkan inovasi:
a.
Tujuan diadakannya
inovasi perlu dimengerti dan diterima oleh guru.
b.
Motivasi positif harus
digunakan untuk memberikan rangsangan agar mau menerima inovasi.
c.
Harus diusahakan agar
individu ikut berpartisipasi / di beri kesempatan dalam mengambil keputusan
inovasi.
d.
Perlu direncanakan
tentang evaluasi keberhasilan program inovasi.
3.
Gunakan berbagai macam
alternatif pilihan untuk mempermudah penerapan inovasi. Hal ini dikemukakan
berdasarkan pemikiran bahwa yang menerapkan inovasi baik guru, maupun siswa
memiliki perbedaan individual.
4.
Gunakan data atau
informasi yang sudah ada untuk bahan pertimbangan dalam penyusunan perencanaan
dan penerapan inovasi.
5.
Gunakan tambahan data
untuk mempermudah fasilitas terjadinya penerapan inovasi.
6.
Gunakan kemanfaatan
dari pengalaman sekolah atau lembaga yang lain. Pengalaman sekolah yang telah
menerapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan
dalam pelaksanaan inovasi di sekolah. Ada beberapa 10 hal untuk melancarkan
penerapan inovasi di sekolah berdasarkan pengalaman model school project di
Amerika Serikat:
a.
Menggunakan guru
penasehat untuk setiap kelompok siswa.
b.
Menyediakan pilihan
(option) untuk mengantisipasi perbedaan individual anak .
c.
Mengembangkan material
(bahan media) sebagai konsekuensi option.
d.
Merevisi kurikulum
dengan menggunakan mini cources.
e.
Membuat tempat belajar
yang lebih baik.
f.
Membuat jadwal yang
fleksibel.
g.
Meningkatkan penggunaan
lingkungan sebagai sumber belajar.
h.
Mengadakan penilaian
program penerapan inovasi.
i.
Mengadakan penilaian
dan pelaporan hasil belajar siswa
j.
Membentuk team
supervisi
7.
Berbuatlah secara
positif untuk mendapatkan kepercayaan. Walaupun di dunia pendidikan sukar untuk
memperoleh dana guna mengadakan pembaharuan, namun demikian pimpinan pendidikan
harus melakukan langkah atau mensukseskan usahanya yaitu:
a.
Kepala sekolah harus
benar-benar memahami apa yang diperlukan untuk perbaikan sekolahnya.
b.
Kepala sekolah harus
menghayati kenyataan bahwa inovasi memang perlu diadakan untuk perbaikan.
c.
Kepala sekolah harus
yakin bahwa sekolah ini tepat untuk menerapkan inovasi.
8.
Menerima tanggungjawab
pribadi. Guru perlu mendapatkan tempat, juga peranan sekolah, dalam masyarakat
yang sedang mengalami perubahan dengan sangat cepat kepala sekolah, guru dasn
siswa akan menjumpai tantangan yang kompleks, pada tingkat dimana mereka
bekerja atau belajar.
9.
Usahakan adanya
pengorganisasian kegiatan yang memungkinkan terjadinya kepemimpinan yang
efektif, mantap dan konsisten untuk menjawab tantangan.
10.
Usahakan mencari
jawaban atas berbagai macam pertanyaan dasar tentang inovasi di sekolah. Dengan
menjawab pertanyaan tersebut dapat menunjang kelancaran program inovasi akan dilaksanakan
di sekolah.
Merujuk pada pandangan Owens dan
Steinhoff (1987) dan Stoner (1982), upaya perubahan di sekolah dapat dilakukan
pada empat dimensi sebagai berikut:
1.
Dimensi
personil. Dalam hal ini upaya perbaikan bisa
diarahkan pada perubahan-perubahan sikap dan persepsi, penguasaan dan
pengintegrasian pengetahuan, perluasan dan penghalusan pengetahuan, penggunaan
pengetahuan secara bermakna, serta kebiasaan-kebiasaan berpikir produktif.
Bagaimana agar semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan penyelenggaraan sekolah memiliki persepsi yang
sama tentang MBS.
2.
Dimensi
struktur. Di sini upaya perubahan bisa dilakukan
dalam penataan kembali pola pengorganisasian sekolah dan atau kelas. Dalam
rangka MBS antara lain hadir yang namanya Dewan Sekolah/Komite Sekolah dll.
3.
Dimensi
tugas. Upaya perubahan pada komponen ini
mengarah pada penataan kembali beban, wewenang, tangung jawab; baik dalam
pengajaran atau implementasi kurikulum, supervisi, tatalaksana kantor, maupun
pelayanan lainnya. MBS memberikan wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar
kepada kepala sekolah beserta seluruh jajaran stafnya.
4.
Dimensi
teknologi. yang dapat dilakukan dengan
perekayasaan alat dan media pembelajaran, penataan kembali sarana-prasarana
sekolah, perekayasaan prosedur, metode, teknik kerja. Dalam MBS prosedur,
metode, dan teknik pengambilan keputusan dapat terjadi perekayasaan dari
pola-pola sebelumnya.
Dalam perspektif perubahan yang
direncanakan, dua hal pokok perlu dipertimbangkan, yaitu orang-orang, baik yang
berperan sebagai pelaku perubahan maupun yang berperan sebagai sasaran ubah;
dan materi ubah-nya, baik aspek jenisnya maupun aspek karakteristiknya.
Pada kelompok pelaku perubahan ada dua
jenis peran yang dapat dibedakan, yaitu peranan master perubahan dan peran agen
perubahan. Syarat untuk menjadi seorang master perubahan adalah memiliki power,
profesionalisme, dan keterampilan memberdayakan lingkungan sistem. Power adalah
daya yang dapat membuat orang atau pihak lain terpengaruh untuk melakukan suatu
tindakan yang diinginkan. Profesionalisme merupakan suatu sikap mental yang
menunjukkan kedisiplinan, etos, dan kecermatan kerja yang tinggi. Keterampilan
memberdayakan sistem yaitu kemampuan yang bertalian dengan membangun tim
kerjasama, memenangkan dukungan, penggalang keterlibatan pihak-pihak terkait,
dan mengem-bangkan budaya unggul-bergairah.
Agen perubahan adalah aparat dari master
perubahan yang peranan utamanya memfasilitasi arus pembaharuan sampai diterima
oleh para sasaran perubahan. Karena itu ia harus dapat mempengaruhi keputusan
klien pembaharuani. Kelompok yang menjadi sasaran perubahan disebut klien ubah.
Kecenderungan umum dari klien ubah
adalah menolak pembaharuan atau inovasi. Penolakan bisa disebabkan oleh
berbagai hal. Di antara sebab yang muncul dari klien sendiri berkaitan dengan
hal-hal seperti tingkat ketidakpuasaan, keengganan berkorban, dan rasa
kekhawatiran (Drucker, 1985).
Sebagai dasar pertimbangan untuk
melibatkan orang-orang dalam suatu upaya perubahan dapat diperhatikan
kategorisasi tingkat penerimaan anggota suatu sistem sosial terhadap inovasi.
Sejalan dengan pandangan Rogers (1983), pada lingkungan sekolah dapat dikenali
lima kategori anggota staf sebagai berikut:
a. Inovator:
Anggota staf sekolah yang masuk kategori ini berkarakter antara lain suka
bertualang; berhasrat besar untuk mencoba gagasan-gagasan baru; menyukai akan
hal-hal yang nyerempet bahaya, kegesitan, tantangan, dan risiko. Mereka sering
juga berhubungan dengan orang-orang dari luar lingkungan sekolah atau berjiwa
kosmopolitan. Mereka dapat memainkan peranan sebagai pembawa inovasi ke dalam
sistem sekolah.
b. Pelopor
(early adopter): Anggota staf sekolah
kategori ini lebih menyatu dengan lingkungan sosial sekolah setempat. Mereka
sering tampil sebagai "opinion
leader" dan penuh pertimbangan untuk menerapkan gagasan yang baru.
Mereka tanggap terhadap kelompoknya, mampu mengajukan saran dan memberikan
dorongan di samping senantiasa mengupayakan keberhasilan dengan memanfaatkan
ciri-ciri utama suatu gagasan baru.
c. Pengikut
dini (early majority): Anggota staf
sekolah kelompok ini suka menerima gagasan baru sebelum kebanyakan orang
menerimanya. Sekalipun acap kali berhubungan dengan anggota kelompok lainnya,
tapi jarang memegang posisi kepemimpinan. Mereka sering merundingkannya lebih
dahulu sebelum menerima sepenuhnya suatu gagasan baru.
d. Pengikut
susulan (late majority): Anggota staf
sekolah kelompok ini ia baru menerima suatu inovasi manakala sudah kebanyakan
orang menerimanya. Mereka seringkali ragu terhadap gagasan baru dan karenanya
menunggu tekanan kelompok memberikan motivasi. Mereka cenderung menerima suatu
yang baru setelah yakin merasa aman dengan penerimaannya itu.
e. Ketinggalan
(laggard): Anggota staf sekolah
kelompok ini senantiasa menjadi yang terakhir dari kelompoknya dalam menerima
inovasi. Mereka kebanyakan terasing dari jaringan kerja kelompoknya. Mereka
acapkali berhubungan dengan orang-orang yang berpandangan kolot. Sering kali
saat mereka mulai menerima suatu gagasan baru, gagasan baru lainnya telah
dihadapannya.
Materi ubah tiada lain yaitu inovasi.
Suatu inovasi menurut Santoso (1974) mengandung makna:
1.
Subjektif baru, yakni
sesuatu yang dianggap baru bagi lingkungan setempat, mungkin di tempat lain
merupakan suatu yang tidak baru.
2.
Bersifat kualitatif,
bukan pertumbuhan dalam kuantitas; dan
3.
Berkaitan dengan upaya
pemecahan masalah setempat, yakni masalah yang betul-betul terjadi di
lingkungan sendiri (indegenous problem).
Jenis inovasi bisa berupa ide seperti school-based
management, praktek seperti prosedur pengajaran, dan produk atau barang
seperti komputer. Di antara atribut inovasi (Rogers, 1983) yang penting untuk
diperhatikan dalam mensosialisasikannya, adalah:
1.
Keuntungan relatif,
yiatu nilai tambah yang mungkin dapat diperoleh para penerima inovasi tersebut.
Paling tidak enam dimensi keuntungan relatif patut dipertimbangkan, yaitu
tingkat keuntungan ekonomis, rendahnya biaya permulaan, risiko nyata lebih
rendah, lebih nyaman, hemat tenaga dan waktu, dan cepat memperoleh imbalan.
2.
Kecocokan atau
kesesuaian, yaitu konsistensi inovasi yang bersangkutan dengan nilai-nilai yang
ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan penerima.
3.
Kerumitan, yaitu
tingkat ketika inovasi dianggap relatif sulit dimengerti dan digunakan.
Kerumitan inovasi menurut pengamatan anggota sistem sosial, berhubungan negatif
dengan kecepatan adosinya. Artinya makin rumit inovasi bagi seseorang maka
makin lambat proses adopsinya.
4.
Ketercobaan, yakni
suatu tingkat yang menunjukkan inovasi dapat dicoba dalam skala kecil. Inovasi
yang dapat dicoba akan memperkecil risiko bagi penerimanya sehingga akan
diadopsi lebih cepat.
5.
Keteramatian, yaitu
tingkat ketila hasil-hasil inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Hasil inovasi
ada yang mudah dilihat dan dikomunikasikan kepada orang lain dan ada yang
tidak. Keteramatian inovasi menurut anggapan anggota sistem sosial berhubungan
positif dengan kecepatan adopsinya. Biasanya kecepatan dilihat dari jumlah
penerima yang mengadopsi inovasi pada kurun waktu tertentu.
Menjalankan perubahan berarti
mensosialisasikan suatu inovasi. Sosialisasi suatu program inovasi berkaitan
dengan penyebaran pesan-pesan dari seseorang kepada yang lain. Hal ini secara
umum menyangkut proses dari suatu perubahan dan secara khusus menyangkut
pemanfatan pola dan saluran komunikasi. Para pakar di bidang ini menyebutnya
sebagai proses difusi (Rogers, 1983). Karena itu difusi inovasi patut dilihat
dalam perspektif proses perubahan yang direncanakan (the planned change).
Mengenai proses perubahan, sejalan dengan
Bennis (1974) dan Rogers (1983), dapat diketengahkan tiga tahapan yang
merupakan siklus sebagai berikut:
1.
Pembuyaran,
yaitu upaya menciptakan situasi sistem untuk menuntut sesuatu yang baru/beda.
Sebelum suatu inovasi disebarkan terlebih dahulu cara-cara dan pola atau budaya
kerja yang telah mentradisi dibuat goyah. Dalam keadaan serba ketidakmenentuan
biasanya muncul keinginan hadirnya sesuatu yang lain yang bisa memberikan
kepuasaan.
2.
Pengubahan,
yaitu upaya menyebarkan suatu inovasi. Langkah-langkah yang dapat diikuti
adalah:
a.
Langkah
pemahaman: Langkah ini berkaitan dengan
pengetahuan ihwal inovasi. Penting untuk dikenalkan yaitu jenis, sifat, dan
fungsi inovasi. Pada umumnya hal ini telah terbukti lebih efektif ditempuh
melalui saluran komunikasi mass-media. Pola komunikasi yang lebih tepat untuk
dikembangkan adalah pola komunikasi heterofili, yaitu tingkat pasangan yang
berkomunikasi berbeda dalam ciri dan sifat (tingkat pendidikan, status,
keyakinan dll).
b.
Langkah
persuasi: Langkah ini diarahkan pada
pemben-tukkan sikap untuk berkenan terhadap inovasi yang dike-nalkan. Karena
itu dukungan lingkungan untuk memperkuat penilaian yang lebih positif terhadap
inovasi yang telah dikenal amatlah penting. Pada tahap ini individu cesara
psikologis lebih terlibat ke dalam inovasi. Seseorang secara aktif mencari
informasi tentang inovasi. Hal pentig dalam pencarian ini adalah dimana ia
mencari informasi, pesan apa yang ia terima dan bagaimana ia menafsirkannya.
Dalam hal ini saluran komunikasi antar pribadi telah terbukti sangat besar
pengaruhnya terhadap pembentukan sikap berkenan tidaknya seseorang terhadap
inovasi yang dikenalkan. Dalam hal ini pola komunikasi homofilius, yaitu
tingkat yang berkomunikasi ada pada kesepadanan ciri dan sifat, sangat cocok
untuk dikembangkan.
c.
Langkah
pemutusan: Pada langkah ini sasaran klien
dihadapkan pada pilihan untuk menerima atau menolak inovasi. Penerimaan adalah
keputusan untuk menjadikan inovasi sebagai sumber pelajaran tentang tindakan
terbaik yang tersedia. Sedangkan penolakan adalah keputusan untuk tidak
mengambil inovasi. Ada dua jenis penolakan, penolakan aktif dan penolakan
fasif. Penolakan aktif yaitu meliputi kegiatan untuk nenpertimbangkan dan
menerima inovasi, termasuk mencobanya, namun kemudian memutuskan untuk tidak
menerimannya. Sedangkan penolakan pasif yaitu penolakan dengan tidak pernah
benar-benar mempertimbangkan kegunaan inovasi. Yang penting diperhatikan adalah
pengaruh dukungan kelompok yang berada pada kesamaan pandang dan kepercayaan terbukti
cukup dominan dalam pemutusan menerima atau menolak. Karena itu pula pola
komunikasi homofilius lebih baik untuk dikembangkan.
d.
Langkah
implementasi: Langkah dimana para klien
menjalankan inovasi. Ide, praktek, atau barang diterapkan dalam operasi pekerjaan
sesuai yang dimaksudkan. Implementasu dapat berlanjut sampai periode waktu
tertentu, tergantung pada sifat dasar inovasinya. Terkadang inovasi menjadi hal
yang baku dan menjadi bagian kegiatan sehari-hari hingga kualitas kekhususannya
hilang dan berubah menjadi rutinitas atau bersifat institusional. Bagian ini
dianggap sebagai akhir dari tingkat implementasi sampai pada saat inovasi baru
lainnya datang.
e.
Langkah konfirmasi:
Langkah ini berlangsung setelah ada putusan baru untuk melanjutkan atau menghentikan
penerapan inovasi. Atau juga setelah ada putusan baru untuk penerimaan
terlambat atau tetap menolak inovasi. Setelah inovasi diterapkan sangat boleh
jadi para klien terus memperoleh berbagai informasi sehingga
keputusan-keputusan baru mungkin terjadi.
3.
Pembekuan,
yaitu upaya menjadikan agar pola atau
budaya kerja baru yang merupakan akibat penerapan inovasi sebagai tradisi.
Dalam hal ini perlu dikembangkan sistem pemberian penghargaan atas prestasi
yang diraih, menetapkan aturan yang mengukuhkan pemberlakuan sistem kerja baru,
memberian penguatan terhadap perilaku yang baru.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
Institusi pendidikan
memiliki kewajiban untuk selalu berbenah dengan mengadakan inovasi dalam
pelayanan. Model inovasi yang dapat diterapkan dalam peningkatan pelayanan pada
institusi pendidikan di antaranya : model penelitian, pengembangan dan difusi, model
pengembangan organisasi, dan model konfigurasi. model penelitian, pengembangan
dan difusi berdasarkan pemikiran bahwa setiap orang tentu memerlukan perubahan,
dan unsur pokok perubahan ialah penelitian, pengembangan, difusi.
Dalam menerapkan
inovasi diperlukan perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan unsur-unsur
sumber daya manusia dan pemosisian tenaga di institusi pendidikan tersebut. upaya
perubahan di sekolah dapat dilakukan pada empat dimensi yaitu dimensi personil,
struktur, tugas, dan teknologi.
Berdasarkan
pembahasan tentang inovasi dalam layanan institusi pendidikan di atas, dapat
diberikan rekomendasi pada stakeholder kebijakan pengembangan institusi
pendidikan agar merencanakan dan memilih model inovasi yang sesuai dengan
karakteristik serta kebutuhan institusi yang bersangkutan. Hal tersebut untuk
mencapai adanya pelayanan yang prima dalam bidang pendidikan.
Daftar
Pustaka
A.
Mas’ud. Antologi Studi Agama dan
Pendidikan. Aneka Ilmu. 2004
Depdiknas
Ban PT, Modul kelayakan Institusi
pendidikan. 2008
Ibrahim.
1988. Inovasi Pendidikan. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ibrahim.
2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan.
Bandung : Imtima.
Irmim
S. dan Abdul R. 2004. Menjadi Guru Yang
Bisa Digugu Dan Ditiru. Jakarta : Seyma Media.
N.I.
Wahyudi. Sistematika Ajaran Islam.
Depag Jatim. 1997
Robi’in
muhammad. Artikel,Pendidikan Profit
orientied. Majalah Gontor. 2011
Robi’in
Muhammad, Alternatif Pembelajaran Global,
2010
Suyatno.
2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif.
Sidoarjo : Masmedia Buana Pustaka.
Sani
Mahmud, Pengantar Ilmu Pendidikan.
Scientifica press. 2009
Suharsimi
Arikunto,konsep perkembangan kurikulum
pendidikan islam.UIN Jogja 2009