KAJIAN FILSAFAT (ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS) DENGAN TIK
BAB 1
PENDAHULUAN
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan pengaruh terhadap
dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001),
dengan berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses
pembelajaran, yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke
di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) dari
fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dan (5) dari waktu siklus ke waktu
nyata.
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) secara umum adalah
semua yang teknologi berhubungan dengan
pengambilan, pengumpulan (akuisisi),
pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi
(Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2006: 6). Tercakup dalam definisi
tersebut adalah semua perangkat keras, perangkat lunak, kandungan isi, dan
infrastruktur komputer maupun (tele) komunikasi. Istilah TIK atau ICT (Information and Communication Technology),
atau yang di kalangan negara Asia berbahasa Inggris disebut sebagai Infocom, muncul setelah berpadunya
teknologi komputer (baik perangkat keras maupun perangkat lunaknya) dan
teknologi komunikasi sebagai sarana penyebaran informasi pada paruh kedua abad
ke-20. Perpaduan kedua teknologi tersebut berkembang sangat pesat, jauh melampaui
bidang-bidang teknologi lainnya. Bahkan sampai awal abad ke-21 ini, dipercaya
bahwa bidang TIK masih akan terus pesat berkembang dan belum terlihat titik
jenuhnya sampai beberapa dekade mendatang. Pada tingkat global, perkembangan
TIK telah mempengaruhi seluruh bidang kehidupan umat manusia. Intrusi TIK ke
dalam bidang-bidang teknologi lain telah sedemikian jauh sehingga tidak ada
satupun peralatan hasil inovasi teknologi yang tidak memanfaatkan perangkat
TIK.
Dalam
makalah ini penulis membahas mengenai “Kajian
Filsafat Ilmu (Epitemologi. Ontologis dan Aksiologi) dengan Teknologi Informasi
dan Komunikasi”
BAB
II
PERMASALAHAN
Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darinyalah
seluruh ilmu berasal, darinya pula seluruh ilmu dan pengetahuan manusia
dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada
berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu
terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami masalah yang sulit dipecahkan,
ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap dasar untuk bertanya.
Dalam filsafat, manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara
totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari
jauh ke akar, hingga ke dasar.
Membicarakan pengaruh TIK pada berbagai bidang lain
tentu memerlukan waktu diskusi yang sangat panjang. Dalam makalah ini, kaitan filsafat
dengan TIK akan di bahas tanpa mengecilkan pengaruh TIK di bidang lain, bidang
pembelajaran mendapatkan manfaat lebih dalam kaitannya dengan kemampuan TIK
mengolah dan menyebarkan informasi.
Permasalahan
dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah landasan epistemologis dalam kajian
TIK?
2. Bagaimana landasan ontologis dalam kajian TIK?
3. Bagaimanakah landasan aksiologis dalam kajian TIK?
4. Kaitan antara filsafat ilmu dengan komunikasi.
5. Pengaruh epistemologi dengan TIK.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
LANDASAN
ONTOLOGIS DALAM TIK
Cabang
utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di
alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya
memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan,
kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Cabang Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata
Ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto
yang artinya ada dan logos yang
artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang
keberadaan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek
yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan
antara objek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan dan
ilmu?
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales,
Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara
penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah
beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau
spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai
nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi
ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia
secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah
ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara
kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti
penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi
ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang
ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
B.
LANDASAN EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN TIK
Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin,
nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut
teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme,
yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan
ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan sebagai
cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan
sahnya (validitas) pengetahuan.
Epistemologi, yaitu
berada dalam wilayah pengetahuan. Kata Epistemologi berasal dari Yunani, yaitu episteme yang artinya cara dan logos yang artinya ilmu. Dengan
demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang bagaimana seorang
ilmuwan akan membangun ilmunya. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara
lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi
ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini, kita akan mengarah ke cabang
fisafat metodologi.
Persoalan-persoalan
dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu ?; 2) Bagaimanakah manusia
dapat mengetahui sesuatu ?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?; 4)
Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa perbedaan antara
pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a
posteriori (pengetahuan puma pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara:
kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan,
kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?
Langkah
dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif
Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan
bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikurnpuikan se,belumnya
Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilnuah disusun setahap demi setahap
dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan
yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan
yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.
C.
LANDASAN AKSIOLOGI DALAM TIK
Aksiologi
berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah
“teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh
(Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam Amsal Bakhtiar (2004:
163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu
tindakan moral yang melahirkan etika; Keduei,- esthetic
expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.
Aksiologi, yaitu
berada dalam wilayah nilai. Kata Aksiologi berasal dari Yunani, yaitu axion yang artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan
demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai etika
seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: untuk apa
pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan
norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu , kita akan mengarah ke cabang
fisafat Etika.
Dalam
Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan
value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation,
yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata
benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi
menilai.
Aksiologi
dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik
tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang
didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value
bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan
dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas
ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam,
jika ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain
kepada kebenaratt yang nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan
hams manrpu ntenilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya
mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).
D.
KAITAN ANTARA FILSAFAT ILMU DENGAN TEKNOLOGI
INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Para ahli sepakat bahwa
landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi ilmu
komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan
Plato. Ethos merupakan komponenfilsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya
rambu-rambu normative dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi
kunci utama bagi hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen
filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia
sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan
ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan
untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar
dan rasional, yang dicirikan oleh argument-argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Pada dasarnya filsafat
komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari
perspektif epistemology:
1.
Ontologis: What
It Is?
Ontologi berarti studi tentang
arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam
dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005).
Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri
yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ontologi.
Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Apakah ilmu komunikasi?
Apakah yang ditelaah oleh ilmu komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah
hakikat komunikasi yang menjadi objek kajiannya?
Ilmu komunikasi dipahami
melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi
sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat
yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan
kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu
Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya
menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.
Contoh relevan aspek
ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori
Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
2.
Epistemologis:
How To Get?
Hakikat pribadi ilmu
(Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu
(Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis
Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan
bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?”
(Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief,
understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting,
learning, and forgetting”.
Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain:
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu?
Bagaimanakah prosedurnya, metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu yang benar dalam hal komunikasi? Apa
yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan logika kebenaran
dalam konteks ilmu komunikasi?
Secara sederhana sebetulnya
perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan
Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu
atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang
menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai
ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh
Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini. Bahkan
nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya
atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih
jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat
erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
Contoh konkret epistemologis
dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan
Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian
Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan
semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.
3.
Aksiologis: What
For?
Hakikat individual ilmu
pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri.
Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis
sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan
dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi
erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.
Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain:
Untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah dalam upaya melahirkan
dan menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu komunikasi dengan norma-norma moral
dan profesional?
Kebutuhan memengaruhi
(persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda,
adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek
aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan
manusia.
Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada
pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan
bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat
mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai
sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus
kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan
sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari
tahu jawabannya.
Tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya
eksak, misalnya dalam biologi akan mudah untuk membedakan kucing dengan anjing,
mana jantung dan mana hati, sehingga tidak memerlukan pendefinisian secara
ketat. Tidak demikian halnya dengan
ilmu-ilmu sosial yang objeknya abstrak. Ilmu komunikasi berada dalam
rumpun ilmu-ilmu sosial yang berobjek abstrak, yaitu tindakan manusia dalam
konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit untuk didefinisikan.
Para pakar telah membuat banyak upaya untuk mendefinisikan komunikasi. Ilmu
komunikasi sebagai salah satu ilmu sosial mutlak memberikan definisi tajam dan
jernih guna menjelaskan objeknya yang abstrak itu.
Tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu
komunikasi. Sebagaimana diutarakan, objek suatu ilmu harus terdiri dari satu
golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena objeknya yang abstrak,
syarat objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu tindakan
manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa
yang terjadi antarmanusia. Contoh, Anda berkata kepada seorang teman, ”Wah,
maaf, kemarin saya lupa menelepon.” Peristiwa ini memenuhi syarat objek ilmu
komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi antarmanusia, bukan
dengan yang lain selain makhluk manusia.
Telah diketahui ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu
praktika, yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Misalnya,
jika ilmu komunikasi juga mempelajari penyampaian pesan kepada makhluk selain
manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang ditujukan kepada bebatuan serta
tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan sehingga memberi respon positif
mereka? Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia akan
mencederai kriteria objek keilmuannya.
Terdapat beraneka ragam definisi komunikasi, hingga pada
tahun 1976 saja Dance dan Larson berhasil mengumpulkan 126 definisi komunikasi
yang berlainan. Mereka mengidentifikasi tiga dimensi konseptual penting yang
mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya, yaitu:
1. Tingkat
observasi atau derajat keabstrakannya
Yang bersifat umum,
misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang
menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Yang bersifat
terlalu khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat
untuk mengirimkan pesan militer, perintah, dan sebagainya melalui telepon,
telegraf, radio, kurir, dan sebagainya.
2. Tingkat
kesengajaan
Yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang
menyatakan komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber mentransmisikan
suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku
penerima. Sementara definisi yang mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode
yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang membuat sesuatu dari yang semula
dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi dimiliki oleh dua orang
atau lebih.
3. Tingkat
keberhasilan dan diterimanya pesan
Yang menekankan
keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa
komunikasi adalah proses pertukaran informasi untuk mendapatkan saling
pengertian. Sedangkan yang tidak menekankan keberhasilan, misalnya definisi
yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi.
Dengan beragamnya definisi komunikasi, sementara definisi
itu diperlukan untuk menggambarkan objek ilmu komunikasi secara jelas dan
jernih, maka pada tahun 1990-an para teoritisi komunikasi berdebat dan
mempertanyakan apakah komunikasi harus disengaja? dan Apakah komunikasi harus
diterima (received)? Setelah beradu
argumentasi, para ahli sepakat untuk tidak sepakat dan menyatakan bahwa
sekurang-kurangnya terdapat tiga perspektif (sudut pandang) / paradigma yang dapat diakomodir.
Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat
menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek
ilmunya. Berikut ini adalah uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil ”kesepakatan
untuk tidak sepakat” dari para teoritisi komunikasi:
1.
Paradigma-1
Komunikasi harus
terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan diterima oleh orang
lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja,
dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi,
syaratnya harus terdapat komunikator
pengirim, pesan itu sendiri, dan komunikan penerima. Implikasinya, jika
pesan tidak diterima, tidak ada komunikan, karena tidak ada manusia yang
menerima pesan. Jadi tidak ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan
kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman melambai pada kita tapi
kita tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya, karena kita
selaku komunikan tidak menerima pesan itu.
2. Paradigma-2
Komunikasi harus
mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima, apakah disengaja atau
tidak. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan tidak harus disampaikan dengan
sengaja, tapi harus diterima. Paradigma ini relatif mengenal istilah komunikan
penerima. Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi
dinamai sebagai komunikator mengingat keduanya mempunyai peluang untuk
menyampaikan pesan, baik disengaja maupun tidak, yang dimaknai oleh pihak
lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai semua
manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah satu
pihak, adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika kita dengan tidak
sengaja melenggang di tepi jalan dan supir taksi berhenti serta bertanya,
”Taksi, pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi kajiannya karena supir itu
telah memaknai lenggangan kita yang tidak sengaja sebagai panggilan
terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.
3. Paradigma-3
Komunikasi harus
mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja, namun derajat kesengajaan
sulit untuk ditentukan. Paradigma ini menyataan bahwa pesan harus disampaikan
dengan sengaja, tapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak.
Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan, dan target
komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi kita tidak
melihat, ini merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya. Pertanyaannya adalah
mengapa pesan itu tidak kita terima? Gangguan apa yang sedang terjadi, apakah
pada salurannya? Atau pada alat penerima (mata kita)? Atau ada hal lainnya?
Tujuan filsafat
adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan
menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur
semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada
pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Tiga
bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis,
ontologis, dan oksiologis. Ketiga
bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.
Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat,
metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi
penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi
pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang
diperoleh dalam prosesnya menggunakan
metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan
perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.
Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih
sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan
sosial ontologi terutama berkaitan
dengan sifat interaksi sosial. Menurut
Stephen Litle John, ontologi adalah
mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas.
Bagi ilmu sosial ontologi memiliki
keluasan eksistensi kemanusiaan.
Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai
seperti etika, estetika, atau agama. Litle
John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang
membahas value (nilai-nilai) Litle John mengistilahkan kajian
menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah dengan nama metatori. Metatori
adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti tentang apa yang diobservasi,
bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk teorinya. ”Metatori adalah teori
tentang teori” pelbagai kajian metatori yang berkembang sejak 1970 –an
mengajukan berbagai metode dan teori, berdasarkan perkembangan paradigma
sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah knowledge itu (epistemologi)
berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya (ontologi) perkembangannya dan bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya
(aksiologis) bagi kehidupan sosial. Pembahasan ; Berita infotainment dalam kajian filosofis. Kajian ini akan meneropong
lingkup persoalan di dalam disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari
keilmuan komunikasi, yang telah mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan
aksiologisnya terutama dalam penyajian berita infotainment di televisi.
Dalam hal informasi, filsafat membantu memberikan pengetahuannya
sebagai berikut:
1. Kajian Aspek Epistemologis:
Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada
titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa
muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa
kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran
subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan
masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa
penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa,
yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur
dari ”The Quality of News” dan
menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa
berita & membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis
cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment
yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan,
sistematis & logis.
2. Kajian Aspek Ontologis
Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis
tertuju pada keberadaan berita infotainment
dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment
bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang
jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya
dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks,
hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi
James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika
Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi
antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William
Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme
kuning.”
Fenomena
jurnalisme infotainment kembali
mencuat ketika terjadi berita hebohnya perselingkuhan Presiden Amerika ”Bill
Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan telah menjadi karakteristik pada
banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga bukan terbilang
baru. Sejak zaman Harmoko (Menteri
Penerangan pada saat itu) banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul &
diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto
menerbitkan Monitor semakin membuat semarak ”Jurnalisme kuning di Indonesia”.
Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media
baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang mengabaikan
kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika
tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga
ikut-ikut menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak
bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak
disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)
3. Kajian pada aspek aksiologis
Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada
hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan
yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan
berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu
yang lain. Ketika etika infotainment
telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan.
Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.
Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi
mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu
mengabaikan kepentingan masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa
kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar
rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.
E. PENGARUH EPISTEMOLOGI TERHADAP TIK
Bagi Karl R. Popper,
epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah,
epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang
ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus
ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan
kehilangan kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidka
jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan
oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan
dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat
tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap
benar. Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh
perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan.
Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu
pengetahuan tersebut, maka epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran proses
terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil,
mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja
ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya
terandalkan.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau
teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang
kemudian mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan
pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara
memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis
terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya
sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk
menyempurnakan argumentasi atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang
maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk
mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri
(kritik internal). Implikasinya, epistemologi senantiasa mendorong dinamika
berpikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan
relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
Dinamika pemikiran tersebut
mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik yang dimiliki
seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa keragaman
seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya
serta situasi sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan
seseorang dalam mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran.
Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena sudut pandang yang ditempuh
seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang berbeda.
Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah suatu
kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu
dapat dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada perbedaan
sudut pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari
epistemologinya
Secara global epistemologi
berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk
oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia,
dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari
masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu
mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari
ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka.
Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan
teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan
epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga
kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi.
Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa
pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun
teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata
teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan
dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah
hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan
yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat
apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada
awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja
mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari
proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia
pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai
berikut: mula-mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga
didapatkan percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis
menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut
diaplikasikan melalui teknologi, technology is an apllied of science (teknologi
adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan
teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan epistemologi.
Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun
peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak
perlu dikuasai.
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang
besar. Sebuah keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral
yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa
terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan
terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S.
Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana
juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern
dalam kaitannya dengan nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional,
orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide dan
pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai
sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai
profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga
kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam
kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat
produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan dalam
kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia
modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam
kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada
pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama,
manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai
lawan dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri,
1986, Semiawan,C 1993).
BAB
IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Ontologi berarti
studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang
ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan:
2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu
sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
2.
Hakikat pribadi
ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu
(Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis
Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan
bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?”
(Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief,
understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting,
learning, and forgetting”.
3.
Hakikat
individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu
itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek
aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas
kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu
Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.
4.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan
dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah
hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan
yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat
apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya.
B.
SARAN
Berdasarkan
kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan diharapkan
melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi
agar supaya upaya dan usaha yang menjadi pembaharuan dalam teknologi informasi
dan komunikasi pendidikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih hendaknya
di imbangi dengan kebijaksanaan pemakaian dan penggunaannya, jangan sampai
teknologi membuat kita menjadi bermalas-malasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Ar Ruzz. 2005.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu
Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya..2001.
Effendy, Onong Uchyana. Ilmu Komunikasi,
Teori dan Praktek. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1994
Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Edisi Revisi. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2008.
Suriasumantri, Jujun S, 1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta